Senin, 24 November 2014

Cerpen Kucing Hitam by Edgar AllaN Poe



Kucing Hitam by edgar allan poe
Kamis, 02 Agustus 2012 Label: 1843
tampak terlihat seekor kucing dengan seorang pemabuk
Dari narasi terliar namun sederhana yang hendak kukisahkan ini, aku sama sekali tidak berharap atau meyakini apapun. Aku pasti gila bila mengharapkan sesuatu, karena jelas-jelas seluruh akal sehatku telah menolak bukti-bukti yang ada. Aku masih waras – dan yang pasti, aku tidak sedang bermimpi. Aku paham, kematian akan menjemputku esok, untuk itu aku akan melepaskan seluruh beban jiwaku hari ini. Keinginan terbesarku adalah hidup di atas bumi ini secara sederhana, tanpa beban dan tanpa keluhan; hanya menjalani rangkaian peristiwa kehidupan yang biasa-biasa saja. Keinginanku ini telah banyak mendatangkan kengerian tersendiri bagiku – menyiksaku, menghancurkanku. Namun aku tak ingin menceritakannya di sini. Bagiku, semua itu adalah kisah horor dalam kehidupanku – meskipun bagi sebagian orang mungkin kisahku tak sebanding dengan kisah-kisah begaya baroque yang hebat.

Beberapa pendapat intelektual mungkin akan mematahkan kisah fantasiku ini di beberapa bagian – pendapat-pendapat intelektual yang lebih tenang, lebih logis, dan jauh lebih menjemukan dari apa yang akan kukemukakan. Meskipun demikian, aku akan menanggapinya dengan biasa saja, karena semuanya tak lebih dari rangkaian sebab dan akibat alami yang sederhana.

Sejak kecil, aku telah dikenal karena sifatku yang lemah-lembut dan memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi. Kelembutan hatiku begitu jelas terpancar sehingga seringkali menjadi bahan lelucon bagi kawan-kawanku. Aku sangat menyukai hewan, dan kedua orang tuaku pun memanjakanku dengan mengizinkanku memelihara berbagai jenis hewan peliharaan. Bersama mereka aku banyak menghabiskan sebagian besar waktuku, dan tak pernah kurasakan kebahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan saat-saat aku memberi makan dan bercengkerama dengan mereka. Karakter aneh ini bertambah kuat seiring dengan pertumbuhanku, dan begitu aku beranjak remaja, aku semakin menegaskan bahwa ini merupakan salah satu sumber kesenanganku yang utama. Bagi mereka yang telah merasakan cinta-kasih dari seekor anjing yang setia dan cerdas, maka penjelasanku mengenai apa yang kurasakan mungkin dapat dipahami dengan mudah oleh mereka. Ada sesuatu yang terasa dari cinta-kasih yang begitu tulus dan penuh pengorbanan dari hewan itu, yang hanya dapat dirasakan secara langsung oleh mereka yang telah seringkali mengalami pahit-manisnya jalinan persahabatan dengan sesama manusia biasa.

Aku menikah di usia muda, dan betapa senangnya saat kudapati bahwa istriku pun memiliki sifat yang sama. Ia tak pernah mengeluh atau menolak keinginanku untuk memelihara hewan peliharaan. Kami memelihara burung, ikan emas, seekor anjing yang manis, beberapa ekor kelinci, seekor kera kecil, dan seekor kucing.

Kucing yang kami miliki ini berukuran sangat besar dan sangat cantik, seluruh tubuhnya berwarna hitam, dan ia luar biasa cerdas. Berbicara mengenai kecerdasan si kucing, istriku, yang sesungguhnya tidak mempercayai hal-hal supranatural, namun terkadang ia pun mengaitkan kecerdasan hewan tersebut dengan pendapat kuno, yaitu bahwa seluruh kucing berwarna hitam merupakan penjelmaan penyihir. Aku paham bahwa pendapatnya tersebut tidaklah serius ia kemukakan – dan alasan kuceritakan hal ini, hanya karena kebetulan saja terlintas di benakku.

Pluto – nama kucing itu – adalah hewan peliharaan yang paling kusukai dan ia juga merupakan temanku bermain. Aku sendiri yang selalu memberinya makan, dan ia juga selalu mengikutiku kemana pun aku pergi di sekeliling rumah. Dan aku selalu mengalami kesulitan untuk mencegahnya mengikutiku ketika keluar rumah.

Persahabatan kami berlangsung lama, tepatnya selama bertahun-tahun, bahkan ketika aku harus melewati masa-masa di mana temperamen dan karakterku mengalami perubahan radikal terburuk – (betapa malunya aku untuk mengakui ini). Hari demi hari, suasana hatiku berubah menjadi semakin tak menentu, aku menjadi orang yang semakin menyebalkan, dan semakin tidak peduli terhadap perasaan orang lain. Aku mulai berbicara dengan kata-kata kasar dan penuh amarah pada istriku, hingga akhirnya berlanjut dengan menyakitinya secara pribadi. Perubahan sifatku ini pun harus dirasakan pula oleh hewan-hewan peliharaanku. Aku tak hanya mengabaikan mereka, namun juga memperlakukan mereka dengan buruk. Namun, khusus bagi Pluto, aku berusaha menahan diri untuk tidak menyakitinya; sedangkan bagi para kelinci, kera, atau bahkan si anjing, aku sama sekali tidak menahan diriku untuk memperlakukan mereka dengan buruk, terutama bila tanpa sengaja mereka melintas atau berada di dekatku. Penyakitku ini kurasakan bertambah semakin parah – karena bagiku, penyakit adalah bagaikan Alkohol! – hingga pada akhirnya, Pluto, yang kini semakin tua dan semakin mengesalkan, harus pula merasakan dampak dari temperamen burukku.

Pada suatu malam, saat pulang dalam keadaan sangat mabuk, aku merasa bahwa kucing itu mengabaikan kedatanganku. Aku pun dengan geram langsung menangkapnya; perbuatan kasarku itu membuatnya takut, sehingga ia pun melukai tanganku dengan gigi-giginya. Amarahku semakin memuncak seketika, seolah iblis telah menguasaiku. Aku bukanlah diriku lagi. Jiwaku seperti melayang pergi meninggalkan ragaku; dan sebagai gantinya, sesuatu yang lebih buas, kasar serta menakutkan mengisi ragaku yang kosong itu. Tanganku meraih sebuah pisau-pena dari dalam saku mantelku, kubuka, sementara tanganku yang lain masih memegangi si kucing, kemudian pisau itu kutusukkan ke arah matanya dan mencongkel bola mata kucing malang itu! Aku memerah, aku terbakar, aku merasa jijik, saat melakukan perbuatan kejam tersebut.

Begitu pagi datang dan kesadaranku mulai pulih – aku jatuh tertidur setelah melalui malam yang melelahkan – aku merasakan perasaan yang bercampur-aduk, sebagian dari diriku merasa ketakutan, sebagian merasa amat menyesal, karena perasaan bersalah dari perbuatanku semalam; namun di sisi lain, aku pun merasa lemah dan bimbang, serta merasa bahwa jiwaku tetap tak tersentuh. Aku menenangkan hatiku dengan cara menenggelamkan diriku dengan minum-minum anggur, agar peristiwa itu cepat terlupakan.

Sementara itu, kesehatan si kucing perlahan mulai membaik. Matanya yang telah tercongkel sungguh menunjukkan pemandangan yang mengerikan, namun ia tampak tak lagi merasakan sakit. Kucing itu telah mampu menjalani kebiasaannya seperti semula, yaitu berjalan kesana-kemari keliling rumah, namun segera melarikan diri dengan penuh ketakutan begitu kudekati. Hatiku sedih dan merasakan kehilangan yang amat mendalam begitu menyaksikan peristiwa tersebut, menyadari bahwa makhluk yang dulu pernah begitu menyayangiku kini berbalik membenciku. Kondisi ini perlahan mendatangkan rasa kesal bagiku. Lalu pada akhirnya, seolah-olah hendak melengkapi keterpurukkan jiwaku, hadirlah sifat JAHAT yang kemudian mengisiku. Tak ada akal sehat yang menyertai sifat ini. Aku tak lebih yakin bahwa jiwa murniku masih hidup, dibandingkan dengan keyakinanku bahwa kejahatan merupakan bagian dari detak jantung manusia – yaitu, salah satu sifat atau sentimen dasar yang mewarnai dan menggambarkan karakter seorang manusia. Mengapa mereka yang telah berulang kali, mendapati dirinya melakukan perbuatan jahat atau bodoh, dengan alasan yang tak lain karena mereka paham bahwa perbuatan itu tak seharusnya dilakukan, masih terus melakukannya? Bukankah kita memiliki kecenderungan yang selalu dilakukan secara terus-menerus, dalam kemampuan penilaian kita yang terbaik, yaitu bahwa Hukum tercipta untuk dilanggar, semata-mata karena kita sesungguhnya memahami bahwa itulah yang seharusnya terjadi? Sifat jahat ini, seperti yang telah kukatakan, menjadi pelengkap akhir dari keterpurukkan jiwaku. Bagaikan penantian panjang dan hasrat mendalam dari jiwaku untuk menyakiti dirinya sendiri – menawarkan kekejaman bagi dirinya sendiri – melakukan perbuatan buruk demi keburukan itu sendiri – yang mendorongku untuk terus melanjutkannya dan melahap sendiri rasa sakit dari perbuatan kejamku pada hewan malang itu. Pada suatu pagi, dengan darahku yang dingin, aku melilitkan seutas tali di lehernya dan menggantungkannya di batang sebuah pohon; aku melakukannya dengan berderai air mata, dan kegetiran dari rasa sesal tersirat di dalam hatiku; aku menggantungnya karena kutahu ia pernah menyayangiku, dan karena karena ia tak memberiku alasan untuk menyakitinya; aku menggantungnya karena dengan perbuatan itu aku telah melakukan sebuah dosa – dosa besar yang balasannya akan diterima oleh jiwaku yang fana – jika hal itu memang mungkin terjadi – bahkan melampaui jangkauan pengampunan dari Tuhan, Sang Maha Pengampun dan Sang Maha Besar.

Malam harinya, pada hari yang sama aku melakukan perbuatan kejam itu, tiba-tiba aku terbangun dari tidur karena suara desiran api. Tirai-tirai di sekeliling ranjangku terbakar oleh nyala api. Seluruh rumah pun terbakar. Aku, istriku, dan seorang pelayan kami mengalami kesulitan ketika menyelamatkan diri dari kobaran api yang menjilat-jilat. Semua hancur. Seluruh kekayaan duniawiku habis dilalap api, dan aku mendapati diriku terkalahkan dan putus asa.

Aku berada pada puncak lemahku untuk mencari rangkaian sebab dan akibat, di antara musibah dan kekejaman ini. Namun berusaha untuk merinci rantai fakta-fakta – dan bertekad agar tak satupun sambungan rantai itu tidak sempurna. Satu hari setelah peristiwa kebakaran itu, aku kembali mengunjungi puing-puing bekas kebakaran. Salah satu dinding di rumahku telah runtuh, tepatnya dinding sebuah kompartemen; ukurannya tidak terlalu tebal dan berdiri di sekitar bagian tengah rumah, serta berada di sisi lain kamar tidurku, berbatasan dengan bagian kepala ranjangku.  Bagian plester yang melapisinya, sanggup menahan kobaran api – sebuah fakta yang kuyakini ada karena beberapa saat sebelumnya dinding itu baru dilapisi lapisan plester tersebut. Di sekitar dinding ini, beberapa orang tengah berkumpul; mereka memeriksa dan mengamati setiap bagian dengan bersungguh-sungguh. Kata-kata “aneh!” “ajaib!” dan berbagai seruan lain serupa terlontar dari mulut-mulut mereka, dan membuat rasa penasaranku semakin membesar. Aku bergerak mendekat dan melihat, seperti sebuah ukiran timbul pada permukaan putih, dengan bentuk seekor kucing yang amat besar. Detail ukiran itu tampak sangat akurat dan luar biasa mengagumkan Ada seutas tali yang melilit leher kucing itu.

Ketika pertama kali aku melihat pemandangan ini, rasa penasaran dan perasaan takut yang kurasakan sangatlah kuat. Namun tiba-tiba sebuah ingatan sedikit membantuku. Aku masih ingat, kucing itu tergantung di sebuah pohon yang tumbuh di halaman, pohon itu berbatasan langsung dengan rumah. Begitu peristiwa kebakaran terjadi, halaman itu segera dipenuhi oleh orang-orang yang datang –  seseorang pasti telah memotong tali yang menggantung kucing itu dan melemparkannya, melalui jendela yang terbuka, ke dalam kamar tidurku. Hal ini mungkin dilakukan ketika melihatku sudah terbangun dari tidur. Reruntuhan dinding-dinding lainnya telah menekan jasad dari korban kekejamanku ke dalam cairan plester yang baru saja disapukan beberapa waktu lalu; campuran cairan kapur dan zat amonia dari jasad itu, ditambah dengan panasnya kobaran api, telah menciptakan suatu bentuk ukiran seperti yang kulihat tersebut.

Meskipun aku mencoba berpikir dengan seluruh akal sehatku mengenai kejadian itu, namun fakta yang begitu detail tersebut tak sanggup kuhilangkan dari dalam benakku dan terus mengusik rasa penasaranku. Selama berbulan-bulan, fantasi tentang kucing itu terus menghantuiku; dan sepertinya, selama masa-masa tersebut, jiwa sentimenku yang separuh hilang kini telah kembali, meskipun aku tak sepenuhnya yakin, yaitu perasaan menyesal. Perasaan menyesal itu kurasakan cukup mendalam; aku menyesal bahwa hewan itu telah pergi dan penyesalan pun kurasakan ketika melihat ke sekelilingku, seolah-olah para hewan dari spesies yang sama, atau berpenampilan sama, yang tampak serupa dengan si kucing, kini terus menghantui dan tampak selalu berkeliaran di sekitarku.

Pada suatu malam, ketika aku duduk terdiam, masih dalam kondisi jiwaku yang buruk, mataku tiba-tiba terpaku pada sesosok obyek berwarna hitam. Sosok itu tengah berbaring di salah satu patung babi hutan berkuran besar berwarna seperti Gin atau seperti Rum, yang menjadi bagian utama dari seluruh perabotan di apartemen itu. Aku berusaha untuk menatap dengan teliti ke atas patung babi hutan itu selama beberapa menit, dan sesuatu yang membuatku terkejut adalah, aku tak menyadari keberadaan obyek itu sebelumnya. Aku memutuskan untuk bergerak mendekatinya, dan menyentuhnya dengan tanganku. Obyek itu adalah si kucing hitam – dengan ukuran yang sangat besar – ukurannya sebesar Pluto, dan setiap detail tubuhnya sangat serupa dengan Pluto. Seluruh bulu di tubuh Pluto sepenuhnya berwarna hitam, tak ada sehelaipun berwarna putih; namun kucing yang satu ini memiliki bagian bulu yang berwarna putih, meskipun tidak terlalu mencolok, bulu-bulu itu menutupi hampir seluruh bagian dadanya.

Ketika tanganku akan mendekat untuk menyentuhnya, ia tiba-tiba bangkit, dan mengeong nyaring, menggosokkan tubuhnya di tanganku, dan tampak senang dengan kehadiranku. Hewan seperti inilah yang selama aku cari. Seketika itu pula aku mendatangi sang pemilik apartemen dengan niat untuk membeli hewan itu; namun orang itu berkata bahwa ia bukanlah pemilik kucing tersebut – ia tak tahu-menahu tentang keberadaan kucing itu – ia bahkan belum pernah melihatnya sebelumnya.

Aku masih tetap membelai-belai kucing itu, dan ketika aku hendak beranjak pulang, ia menunjukkan sikap ingin turut serta bersamaku. Aku pun mengizinkannya untuk ikut; sesekali aku masih membelai dan mengusap-usap bulunya di sepanjang perjalanan kami. Begitu kami tiba di rumah, ia langsung membuat dirinya nyaman seolah-olah itu memang rumahnya, dan istriku pun langsung jatuh hati padanya.

Sedangkan bagi diriku sendiri, entah dari mana datangnya namun rasa benci itu segera muncul di dalam diriku. Ini merupakan kebalikan dari apa yang selama ini berupaya untuk kuhindari; namun aku sama sekali tak mengerti bagaimana atau mengapa perasaan ini muncul – rasa suka itu berubah menjadi rasa jijik dan rasa terganggu. Perlahan, rasa jijik dan rasa terganggu ini semakin tumbuh menjadi kebencian yang pahit. Aku berusaha untuk menghindari makhluk itu; ada rasa malu, dan kilasan kenangan mengenai perbuatan kejamku di masa lalu yang selalu menghantui, sehingga mencegahku untuk berupaya melukai makhluk itu secara fisik. Selama berminggu-minggu, aku sama sekali tak berusaha untuk memukulnya atau menciderainya; namun pada akhirnya, secara perlahan-lahan – sangat perlahan – aku melihatnya dengan rasa enggan yang tak terucapkan, dan selalu menghindari keberadaannya yang menjijikkan secara diam-diam, seolah-olah aku ingin menjauhkan diri dari wabah penyakit menular.

Untuk semakin menegaskan kebencianku terhadap kucing itu, adalah penemuan yang baru kusadari pada keesokan paginya setelah malam sebelumnya kuambil kucing itu, yaitu, seperti Pluto, kucing itu juga kehilangan salah satu matanya. Namun kondisi kekurangannya tersebut malah membuatnya semakin dicintai oleh istriku, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, ia adalah wanita yang memiliki jiwa kemanusiaan yang amat besar, yang dulu pernah pula kumiliki dan kujadikan sebagai sumber kesenanganku, namun kini sifat itu menjadi sangat menjijikan bagiku.

Keenggananku untuk berurusan dengan kucing itu semakin meningkat di dalam diriku. Hewan itu, dengan keras hati, terus mengikuti kemanapun kakiku melangkah, hal ini mungkin sedikit sulit untuk kujelaskan kepada pembaca secara rinci. Kapanpun ia berbaring, ia akan selalu merangkak ke bawah kursi yang kududuki, atau naik ke pangkuanku dan bermanja-manja dengan malas. Ketika aku beranjak berdiri, ia akan berjalan perlahan di antara kedua kakiku hingga hampir membuatku terjatuh, atau, menancapkan cakar-cakarnya dengan lembut pada pakaian yang kukenakan, kemudian bergerak ke atas hingga posisinya seperti bergantung pada dadaku. Pada saat-saat demikian, meskipun hatiku begitu kuat ingin menghancurkannya, namun aku masih sanggup untuk menahan diri; sebagian karena kenangan perbuatan kejiku di masa lalu masih terlintas di dalam benakku, namun alasan yang utama adalah – izinkan aku untuk mengakuinya kali ini saja – karena rasa takutku yang amat besar pada kucing itu.

Ketakutan yang kumiliki bukan karena melihat penampilan fisiknya yang menyeramkan – sedikit sulit bagiku untuk menjelaskan alasannya di sini. Aku malu untuk mengakui – ya, bahkan dengan jiwa jahatku yang besar ini, aku sangat malu mengakui – bahwa ketakutan dan kengerian yang ditimbulkan oleh hewan itu bagiku tampak seperti keseraman makhluk chimaera. Istriku telah beberapa kali mengingatkanku bahwa kucing itu memiliki bulu berwarna putih di bagian dadanya, sangat berbeda dengan kucing yang pernah kubinasakan sebelumnya. Pembaca mungkin masih ingat, bahwa bagian tubuhnya yang berbulu putih itu memang cukup lebar namun tidaklah terlalu terlihat mencolok; meskipun pada awalnya bagiku tidak terlihat mencolok – bahkan aku bersikeras untuk menganggapnya tidak terlihat sama sekali – tapi, semakin lama bagian itu menjadi bagian nyata dan memberikan perbedaan yang tegas. Keberadaan makhluk yang membuatku bergetar untuk menyebutkannya – dan untuk hal ini, melebihi segala hal lainya, aku merasa enggan dan amat ketakutan, dan ingin mengenyahkan diriku sendiri dari dekat monster itu – kini, seperti berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan, mengerikan yang bangkit dari TIANG GANTUNGAN! Kesengsaraan dan Kematian – oh, mesin pencabut nyawa dan penghukuman yang menyedihkan dan menakutkan.

Dan kini aku terpuruk di tengah-tengah keterpurukan sisi kemanusiaanku. Dan hewan itu – saudaranya yang telah kubinasakan sebelumnya – terus menghantuiku; ia membayang-bayangiku dengan kekuatan pengaruhnya yang bagaikan Dewa Tertinggi – oh! Aku tak tahan, sialan! kini, siang atau malam, aku tak lagi merasa tenang! Kucing yang sebelumnya tak pernah membiarkanku sendiri; dan kini, kucing yang berikutnya, selalu menghantuiku dengan mimpi-mimpi menyeramkan dan mendapati makhluk itu menghembuskan napas panasnya di wajahku, serta membebaniku dengan bobotnya yang berat – sungguh mimpi buruk yang tak sanggup kujauhkan dari diriku – ia terus merongrong hatiku, selamanya!

Di bawah tekanan siksaan yang tak kunjung berhenti ini, sisi lemahku sepertinya memilih untuk menyerah kalah. Namun, pikiran-pikiran jahat muncul dan menjadi sahabat baikku – pikiran terjahat dan tergelap. Ketidakstabilan hati dan jiwaku kini semakin parah menjadi kebencian pada semua hal dan semua orang; meledaknya amarahku yang muncul secara mendadak, sering dan tak terkendali itu telah membutakan hatiku, dan seperti sebelum-sebelumnya, istriku yang tak pernah mengeluh dan penyabar itu menjadi korban utama pelampiasan amarahku.

Pada suatu hari, istriku menemaniku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Ia mengikutiku pergi ke gudang bawah tanah dari bangunan tua ini, tempat tinggal yang terpaksa harus kami huni karena tekanan kemiskinan yang harus kami alami. Kucing itu mengikutiku menuruni tangga yang curam, dan, ia hampir saja membuatku terjungkal jatuh, hingga mendorongku ke puncak amarahku. Secara spontan, aku mengangkat kapak, dan dengan gelap mata, segala rasa takutku terhadapnya seolah hilang. Kuayunkan senjata itu, dan hendak menghunjamkannya ke tubuh makhluk tersebut, dengan harapan bahwa ia akan segera binasa. Namun tangan istriku segera menahan perbuatanku. Merasa terhalang oleh intervensi tersebut, amarahku semakin menggila, aku menarik tanganku dari genggaman istriku dan menghunjamkan kapak tersebut pada kepalanya. Ia menghembuskan napas seketika itu pula, dan jatuh terkulai tanpa rintihan.

Pembunuhan keji itu baru saja terjadi, aku pun segera menyadarkan diriku sendiri; dengan segenap usaha aku berpikir untuk menyembunyikan jasad wanita itu. Aku tak mungkin membawanya pergi dari rumah, baik di siang maupun malam hari, tanpa risiko bahwa para tetangga mungkin saja melihat. Aku memutar otak, berbagai ide muncul di dalam benakku. Sesaat aku berpikir untuk memotong-motong jasad itu menjadi beberapa bagian kecil, dan menghilangkan jejak dengan cara membakar potongan-potongan tubuh tersebut. Sesaat kemudian, ide untuk menggali lubang di lantai gudang bawah tanah dan menguburnya di sana terlintas pula di dalam kepalaku. Lalu, berpikir untuk membuang jasad itu ke dalam sumur di halaman – atau, memasukkannya ke dalam kardus dan membungkusnya sedemikian rupa dan serapi mungkin hingga tampak seperti suatu produk pabrik, lalu memanggil kurir untuk membawanya pergi dari rumah. Namun, pada akhirnya aku menemukan ide yang kuanggap terbaik dibandingkan ide-ide lainnya. Aku memutuskan untuk menyembunyikannya di dinding gudang bawah tanah – seperti yang katanya biasa dilakukan oleh para biarawan pada zaman pertengahan, di mana mereka menguburkan para korbannya di dalam dinding.

Aku rasa, inilah salah satu fungsi gudang bawah tanah. Dinding-dinding di dalam ruangan ini dibangun secara longgar, dan diberi sapuan lapisan plester seadanya, yang masih terasa basah karena kelembapan di dalam ruangan ini sangat tinggi sehingga sulit bagi lapisan tersebut untuk kering. Selain itu, pada salah satu dindingnya terdapat bagian yang menjorok ke depan, seperti tempat cerobong asap dan perapian, namun bagian itu pun telah diisi dengan material sehingga menjadi selaras dengan bagian ruangan lainnya. Aku sangat yakin bahwa tempat itu cocok bagiku untuk menyembunyikan jasad tersebut; aku hanya perlu mengeluarkan material yang mengisi rongga itu, lalu memasukkan jasadnya, dan mengisinya kembali dengan material sehingga tetap terlihat sama seperti semula.

Aku merasa yakin dengan perincian dan perhitungan rencanaku ini. Dengan bantuan linggis, dengan mudah aku dapat merobohkan batu-batu bata yang tersusun, dan dengan hati-hati aku kemudian menyandarkan jasad itu ke dinding di belakangnya. Aku mengalami sedikit kesulitan ketika harus menyusun ulang batu-batu bata tersebut ke tempatnya semula. Telah kusiapkan mortar, pasir dan serat, dengan segala perhitungan yang tepat, selain itu, aku pun telah menyiapkan cairan plester yang serupa dengan cairan semula; kusapukan cairan plester tersebut dengan sangat hati-hati di atas dinding bata yang baru kususun. Setelah pekerjaan itu selesai, aku merasa puas dengan hasilnya dan semua tampak biasa-biasa saja. Dinding itu tak menunjukkan perbedaaan dari sebelumnya. Kotoran dan sampah yang berserakan di lantai gudang kuambil satu per satu dengan saksama. Aku melihat ke sekeliling dengan rasa bangga dan lega, kukatakan pada diriku sendiri – “Akhirnya, pekerjaanku tak sia-sia.”

Tugasku berikutnya adalah mencari kemana perginya kucing itu; kucing yang telah menyebabkan segala kerepotan ini. Aku telah bertekad bulat untuk membinasakannya. Bila aku melihatnya saat itu juga, maka tamatlah riwayatnya saat itu pula; namun, sepertinya hewan cerdik itu mengerti bahwa aku hendak menghabisi nyawanya, terutama setelah melihat betapa murkanya diriku sebelumnya, sehingga kurasa ia memilih untuk menghindariku dalam suasana hatiku yang sedang buruk ini. Sulit bagiku untuk mendeskripsikan secara rinci, atau untuk membayangkan, betapa dalam dan betapa bahagia serta leganya perasaanku dengan perginya makhluk menjijikkan itu. Bahkan hingga malam hari datang, ia masih tidak menampakkan batang hidungnya – dan untuk pertama kalinya, sejak kehadiran kucing itu di rumahku, aku dapat tidur dengan begitu nyenyak; ya, tidur dengan sangat nyenyak meskipun beban dari rasa bersalah karena telah melakukan pembunuhan masih menggelayuti jiwaku!

Hari kedua dan ketiga berlalu begitu saja, dan tetap, pegancam jiwaku itu masih belum menampakkan dirinya. Sekali lagi, aku sanggup bernapas seperti orang yang merdeka. Monster yang terus menghantuiku itu kini telah pergi entah kemana, untuk selamanya! Aku tak perlu lagi melihatnya! Inilah puncak kebahagiaanku! Rasa bersalah dari perbuatan jahatku memang masih mengganggu, tapi sangat sedikit saja. Beberapa pertanyaan memang telah bermunculan, namun semua telah terjawab. Bahkan pencarian pun telah dilakukan – namun tentu saja, tak ada yang dapat ditemukan. Aku merasa bahwa kebahagiaan masa depanku sudah terjamin dan aman.

Menginjak hari keempat setelah peristiwa pembunuhan itu, sekelompok polisi tanpa terduga, mendatangi rumahku, dan melakukan penyelidikan secara saksama ke seluruh penjuru rumah. Aku merasa aman, tempatku menyembunyikan jasad itu tak mungkin ditemukan, tak sedikitpun rasa bersalah terpancar dari wajahku. Para petugas kepolisian itu memintaku untuk turut menemani mereka melakukan penyelidikan ke sekeliling rumah. Tak ada celah atau satu sudut pun yang luput dari pengamatan mereka. Kemudian, setelah tiga atau empat kali berkeliling rumah, mereka memutuskan untuk turun ke gudang bawah tanah. Aku tak merasa tegang atau bergetar. Detak jantungku masih berdegup dengan tenang, seperti seseorang yang tengah tertidur dengan lelap. Aku berjalan menyusuri setiap sisi gudang itu. Tangan kulipat di depan dadaku, dan bergerak dengan santai kesana-kemari. Para petugas polisi tampaknya telah selesai meneliti ruangan itu dan mereka pun hendak beranjak pergi. Rasa bahagiaku bergelora di dalam dada dan sulit bagiku untuk menahan luapannya. Aku pun berucap kepada mereka, dengan nada yang penuh dengan kemenangan, dan untuk menegaskan kepada mereka bahwa aku tidak bersalah.

“Tuan-tuan,” aku berseru, ketika sekelompok polisi itu menaiki anak tangga, “Saya senang karena telah berhasil menjawab segala kecurigaan Anda semua. Saya harap Anda semua sehat selalu, dan semoga Anda dapat bersikap lebih sopan lain kali. Perlu Anda semua ketahui, tuan-tuan, ini adalah rumah yang dibangun dengan konstruksi terbaik.” (Dengan hasratku yang menggebu untuk mengatakan sesuatu yang sederhana, pada kenyataannya aku sama sekali tak tahu apa yang keluar dari mulutku) – “Saya yakin sekali, ini rumah yang dibangun dengan tepat. Dinding-dinding ini – Anda ikut, tuan-tuan? – dinding-dinding ini disusun dengan sempurna”; dan di sini, dengan keberanian yang tak masuk akal, aku menghantam dengan sekeras mungkin, menggunakan tongkat yang ada di dalam genggamanku, bagian dinding bata tempat aku menyembunyikan jasad istriku.

Namun, atas perlindungan Tuhan dan penyelamatan-Nya atas diriku dari mulut iblis! Tak lama setelah gema pukulan tongkatku pada dinding itu berhenti, aku mendengar suara yang berasal dari balik dinding tersebut! –suara tangisan yang mulanya tertahan namun kemudian pecah, seperti anak kecil yang menangis sesenggukan, lalu berlanjut menjadi suara teriakan panjang, nyaring dan terus-menerus, namun suara itu terdengar tidak biasa dan tidak seperti suara manusia – lebih tepatnya, seperti suara lolongan – memekik dengan lantang, sebagian terdengar seperti sesuatu yang menyeramkan tapi sebagian lagi terdengar seperti suara kemenangan seolah-olah suara itu berasal dari neraka. Seperti perpaduan suara jeritan yang keluar dari mulut mereka yang telah dikutuk, memekik kesakitan dan suara para iblis yang berska-ria menghukum para penghuni neraka tersebut.

Pikiran-pikiran tak keruan terlintas di dalam benakku, dan akan terdengar begitu bodoh jika kujelaskan. Aku gontai dan sempoyongan, hingga bersandar pada dinding di sisi lain. Selama beberapa saat, para petugas kepolisian yang masih berdiri di anak tangga hanya terdiam dan bergerak, mereka merasa heran dan sedikit ketakutan. Kemudian, selusin lengan yang kuat mulai menghantam-hantam dinding. Semua terasa sangat nyata. Jasad itu, dalam kondisi yang sudah membusuk dan bersimbah darah, berdiri dengan tegak di hadapan seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu. Sementara di atas kepalanya, ada sesosok makhluk seram dengan mulut merah yang terbuka dan satu mata yang tampak seperti dipenuhi kobaran api, bertenggerlah monster yang telah mendorongku untuk melakukan pembunuhan itu, dan suara nyaringnya yang telah mengantarkanku ke tiang gantungan. Jadi, selama ini aku telah mengubur kucing monster itu di balik dinding!





















FOR the most wild, yet most homely narrative which I am about to pen, I neither expect nor solicit belief. Mad indeed would I be to expect it, in a case where my very senses reject their own evidence. Yet, mad am I not - and very surely do I not dream. But to-morrow I die, and to-day I would unburthen my soul. My immediate purpose is to place before the world, plainly, succinctly, and without comment, a series of mere household events. In their consequences, these events have terrified - have tortured - have destroyed me. Yet I will not attempt to expound them. To me, they have presented little but Horror - to many they will seem less terrible than barroques. Hereafter, perhaps, some intellect may be found which will reduce my phantasm to the common-place - some intellect more calm, more logical, and far less excitable than my own, which will perceive, in the circumstances I detail with awe, nothing more than an ordinary succession of very natural causes and effects.
From my infancy I was noted for the docility and humanity of my disposition. My tenderness of heart was even so conspicuous as to make me the jest of my companions. I was especially fond of animals, and was indulged by my parents with a great variety of pets. With these I spent most of my time, and never was so happy as when feeding and caressing them. This peculiarity of character grew with my growth, and in my manhood, I derived from it one of my principal sources of pleasure. To those who have cherished an affection for a faithful and sagacious dog, I need hardly be at the trouble of explaining the nature or the intensity of the gratification thus derivable. There is something in the unselfish and self-sacrificing love of a brute, which goes directly to the heart of him who has had frequent occasion to test the paltry friendship and gossamer fidelity of mere Man .
I married early, and was happy to find in my wife a disposition not uncongenial with my own. Observing my partiality for domestic pets, she lost no opportunity of procuring those of the most agreeable kind. We had birds, gold-fish, a fine dog, rabbits, a small monkey, and a cat .
This latter was a remarkably large and beautiful animal, entirely black, and sagacious to an astonishing degree. In speaking of his intelligence, my wife, who at heart was not a little tinctured with superstition, made frequent allusion to the ancient popular notion, which regarded all black cats as witches in disguise. Not that she was ever serious upon this point - and I mention the matter at all for no better reason than that it happens, just now, to be remembered.
Pluto - this was the cat's name - was my favorite pet and playmate. I alone fed him, and he attended me wherever I went about the house. It was even with difficulty that I could prevent him from following me through the streets.
Our friendship lasted, in this manner, for several years, during which my general temperament and character - through the instrumentality of the Fiend Intemperance - had (I blush to confess it) experienced a radical alteration for the worse. I grew, day by day, more moody, more irritable, more regardless of the feelings of others. I suffered myself to use intemperate language to my wife. At length, I even offered her personal violence. My pets, of course, were made to feel the change in my disposition. I not only neglected, but ill-used them. For Pluto, however, I still retained sufficient regard to restrain me from maltreating him, as I made no scruple of maltreating the rabbits, the monkey, or even the dog, when by accident, or through affection, they came in my way. But my disease grew upon me - for what disease is like Alcohol! - and at length even Pluto, who was now becoming old, and consequently somewhat peevish - even Pluto began to experience the effects of my ill temper.
One night, returning home, much intoxicated, from one of my haunts about town, I fancied that the cat avoided my presence. I seized him; when, in his fright at my violence, he inflicted a slight wound upon my hand with his teeth. The fury of a demon instantly possessed me. I knew myself no longer. My original soul seemed, at once, to take its flight from my body and a more than fiendish malevolence, gin-nurtured, thrilled every fibre of my frame. I took from my waistcoat-pocket a pen-knife, opened it, grasped the poor beast by the throat, and deliberately cut one of its eyes from the socket! I blush, I burn, I shudder, while I pen the damnable atrocity.
When reason returned with the morning - when I had slept off the fumes of the night's debauch - I experienced a sentiment half of horror, half of remorse, for the crime of which I had been guilty; but it was, at best, a feeble and equivocal feeling, and the soul remained untouched. I again plunged into excess, and soon drowned in wine all memory of the deed.
In the meantime the cat slowly recovered. The socket of the lost eye presented, it is true, a frightful appearance, but he no longer appeared to suffer any pain. He went about the house as usual, but, as might be expected, fled in extreme terror at my approach. I had so much of my old heart left, as to be at first grieved by this evident dislike on the part of a creature which had once so loved me. But this feeling soon gave place to irritation. And then came, as if to my final and irrevocable overthrow, the spirit of PERVERSENESS. Of this spirit philosophy takes no account. Yet I am not more sure that my soul lives, than I am that perverseness is one of the primitive impulses of the human heart - one of the indivisible primary faculties, or sentiments, which give direction to the character of Man. Who has not, a hundred times, found himself committing a vile or a silly action, for no other reason than because he knows he should not? Have we not a perpetual inclination, in the teeth of our best judgment, to violate that which is Law , merely because we understand it to be such? This spirit of perverseness, I say, came to my final overthrow. It was this unfathomable longing of the soul to vex itself - to offer violence to its own nature - to do wrong for the wrong's sake only - that urged me to continue and finally to consummate the injury I had inflicted upon the unoffending brute. One morning, in cool blood, I slipped a noose about its neck and hung it to the limb of a tree; - hung it with the tears streaming from my eyes, and with the bitterest remorse at my heart; - hung it because I knew that it had loved me, and because I felt it had given me no reason of offence; - hung it because I knew that in so doing I was committing a sin - a deadly sin that would so jeopardize my immortal soul as to place it - if such a thing wore possible - even beyond the reach of the infinite mercy of the Most Merciful and Most Terrible God.
On the night of the day on which this cruel deed was done, I was aroused from sleep by the cry of fire. The curtains of my bed were in flames. The whole house was blazing. It was with great difficulty that my wife, a servant, and myself, made our escape from the conflagration. The destruction was complete. My entire worldly wealth was swallowed up, and I resigned myself thenceforward to despair.
I am above the weakness of seeking to establish a sequence of cause and effect, between the disaster and the atrocity. But I am detailing a chain of facts - and wish not to leave even a possible link imperfect. On the day succeeding the fire, I visited the ruins. The walls, with one exception, had fallen in. This exception was found in a compartment wall, not very thick, which stood about the middle of the house, and against which had rested the head of my bed. The plastering had here, in great measure, resisted the action of the fire - a fact which I attributed to its having been recently spread. About this wall a dense crowd were collected, and many persons seemed to be examining a particular portion of it with very minute and eager attention. The words "strange!" "singular!" and other similar expressions, excited my curiosity. I approached and saw, as if graven in bas relief upon the white surface, the figure of a gigantic cat. The impression was given with an accuracy truly marvellous. There was a rope about the animal's neck.
When I first beheld this apparition - for I could scarcely regard it as less - my wonder and my terror were extreme. But at length reflection came to my aid. The cat, I remembered, had been hung in a garden adjacent to the house. Upon the alarm of fire, this garden had been immediately filled by the crowd - by some one of whom the animal must have been cut from the tree and thrown, through an open window, into my chamber. This had probably been done with the view of arousing me from sleep. The falling of other walls had compressed the victim of my cruelty into the substance of the freshly-spread plaster; the lime of which, with the flames, and the ammonia from the carcass, had then accomplished the portraiture as I saw it.
Although I thus readily accounted to my reason, if not altogether to my conscience, for the startling fact just detailed, it did not the less fail to make a deep impression upon my fancy. For months I could not rid myself of the phantasm of the cat; and, during this period, there came back into my spirit a half-sentiment that seemed, but was not, remorse. I went so far as to regret the loss of the animal, and to look about me, among the vile haunts which I now habitually frequented, for another pet of the same species, and of somewhat similar appearance, with which to supply its place.
One night as I sat, half stupified, in a den of more than infamy, my attention was suddenly drawn to some black object, reposing upon the head of one of the immense hogsheads of Gin, or of Rum, which constituted the chief furniture of the apartment. I had been looking steadily at the top of this hogshead for some minutes, and what now caused me surprise was the fact that I had not sooner perceived the object thereupon. I approached it, and touched it with my hand. It was a black cat - a very large one - fully as large as Pluto, and closely resembling him in every respect but one. Pluto had not a white hair upon any portion of his body; but this cat had a large, although indefinite splotch of white, covering nearly the whole region of the breast. Upon my touching him, he immediately arose, purred loudly, rubbed against my hand, and appeared delighted with my notice. This, then, was the very creature of which I was in search. I at once offered to purchase it of the landlord; but this person made no claim to it - knew nothing of it - had never seen it before.
I continued my caresses, and, when I prepared to go home, the animal evinced a disposition to accompany me. I permitted it to do so; occasionally stooping and patting it as I proceeded. When it reached the house it domesticated itself at once, and became immediately a great favorite with my wife.
For my own part, I soon found a dislike to it arising within me. This was just the reverse of what I had anticipated; but - I know not how or why it was - its evident fondness for myself rather disgusted and annoyed. By slow degrees, these feelings of disgust and annoyance rose into the bitterness of hatred. I avoided the creature; a certain sense of shame, and the remembrance of my former deed of cruelty, preventing me from physically abusing it. I did not, for some weeks, strike, or otherwise violently ill use it; but gradually - very gradually - I came to look upon it with unutterable loathing, and to flee silently from its odious presence, as from the breath of a pestilence.
What added, no doubt, to my hatred of the beast, was the discovery, on the morning after I brought it home, that, like Pluto, it also had been deprived of one of its eyes. This circumstance, however, only endeared it to my wife, who, as I have already said, possessed, in a high degree, that humanity of feeling which had once been my distinguishing trait, and the source of many of my simplest and purest pleasures.
With my aversion to this cat, however, its partiality for myself seemed to increase. It followed my footsteps with a pertinacity which it would be difficult to make the reader comprehend. Whenever I sat, it would crouch beneath my chair, or spring upon my knees, covering me with its loathsome caresses. If I arose to walk it would get between my feet and thus nearly throw me down, or, fastening its long and sharp claws in my dress, clamber, in this manner, to my breast. At such times, although I longed to destroy it with a blow, I was yet withheld from so doing, partly by a memory of my former crime, but chiefly - let me confess it at once - by absolute dread of the beast.
This dread was not exactly a dread of physical evil - and yet I should be at a loss how otherwise to define it. I am almost ashamed to own - yes, even in this felon's cell, I am almost ashamed to own - that the terror and horror with which the animal inspired me, had been heightened by one of the merest chimaeras it would be possible to conceive. My wife had called my attention, more than once, to the character of the mark of white hair, of which I have spoken, and which constituted the sole visible difference between the strange beast and the one I had destroyed. The reader will remember that this mark, although large, had been originally very indefinite; but, by slow degrees - degrees nearly imperceptible, and which for a long time my Reason struggled to reject as fanciful - it had, at length, assumed a rigorous distinctness of outline. It was now the representation of an object that I shudder to name - and for this, above all, I loathed, and dreaded, and would have rid myself of the monster had I dared - it was now, I say, the image of a hideous - of a ghastly thing - of the GALLOWS ! - oh, mournful and terrible engine of Horror and of Crime - of Agony and of Death !
And now was I indeed wretched beyond the wretchedness of mere Humanity. And a brute beast - whose fellow I had contemptuously destroyed - a brute beast to work out for me - for me a man, fashioned in the image of the High God - so much of insufferable wo! Alas! neither by day nor by night knew I the blessing of Rest any more! During the former the creature left me no moment alone; and, in the latter, I started, hourly, from dreams of unutterable fear, to find the hot breath of the thing upon my face, and its vast weight - an incarnate Night-Mare that I had no power to shake off - incumbent eternally upon my heart !
Beneath the pressure of torments such as these, the feeble remnant of the good within me succumbed. Evil thoughts became my sole intimates - the darkest and most evil of thoughts. The moodiness of my usual temper increased to hatred of all things and of all mankind; while, from the sudden, frequent, and ungovernable outbursts of a fury to which I now blindly abandoned myself, my uncomplaining wife, alas! was the most usual and the most patient of sufferers.
One day she accompanied me, upon some household errand, into the cellar of the old building which our poverty compelled us to inhabit. The cat followed me down the steep stairs, and, nearly throwing me headlong, exasperated me to madness. Uplifting an axe, and forgetting, in my wrath, the childish dread which had hitherto stayed my hand, I aimed a blow at the animal which, of course, would have proved instantly fatal had it descended as I wished. But this blow was arrested by the hand of my wife. Goaded, by the interference, into a rage more than demoniacal, I withdrew my arm from her grasp and buried the axe in her brain. She fell dead upon the spot, without a groan.
This hideous murder accomplished, I set myself forthwith, and with entire deliberation, to the task of concealing the body. I knew that I could not remove it from the house, either by day or by night, without the risk of being observed by the neighbors. Many projects entered my mind. At one period I thought of cutting the corpse into minute fragments, and destroying them by fire. At another, I resolved to dig a grave for it in the floor of the cellar. Again, I deliberated about casting it in the well in the yard - about packing it in a box, as if merchandize, with the usual arrangements, and so getting a porter to take it from the house. Finally I hit upon what I considered a far better expedient than either of these. I determined to wall it up in the cellar - as the monks of the middle ages are recorded to have walled up their victims.
For a purpose such as this the cellar was well adapted. Its walls were loosely constructed, and had lately been plastered throughout with a rough plaster, which the dampness of the atmosphere had prevented from hardening. Moreover, in one of the walls was a projection, caused by a false chimney, or fireplace, that had been filled up, and made to resemble the red of the cellar. I made no doubt that I could readily displace the bricks at this point, insert the corpse, and wall the whole up as before, so that no eye could detect any thing suspicious. And in this calculation I was not deceived. By means of a crow-bar I easily dislodged the bricks, and, having carefully deposited the body against the inner wall, I propped it in that position, while, with little trouble, I re-laid the whole structure as it originally stood. Having procured mortar, sand, and hair, with every possible precaution, I prepared a plaster which could not be distinguished from the old, and with this I very carefully went over the new brickwork. When I had finished, I felt satisfied that all was right. The wall did not present the slightest appearance of having been disturbed. The rubbish on the floor was picked up with the minutest care. I looked around triumphantly, and said to myself - "Here at least, then, my labor has not been in vain."
My next step was to look for the beast which had been the cause of so much wretchedness; for I had, at length, firmly resolved to put it to death. Had I been able to meet with it, at the moment, there could have been no doubt of its fate; but it appeared that the crafty animal had been alarmed at the violence of my previous anger, and forebore to present itself in my present mood. It is impossible to describe, or to imagine, the deep, the blissful sense of relief which the absence of the detested creature occasioned in my bosom. It did not make its appearance during the night - and thus for one night at least, since its introduction into the house, I soundly and tranquilly slept; aye, slept even with the burden of murder upon my soul!
The second and the third day passed, and still my tormentor came not. Once again I breathed as a freeman. The monster, in terror, had fled the premises forever! I should behold it no more! My happiness was supreme! The guilt of my dark deed disturbed me but little. Some few inquiries had been made, but these had been readily answered. Even a search had been instituted - but of course nothing was to be discovered. I looked upon my future felicity as secured.
Upon the fourth day of the assassination, a party of the police came, very unexpectedly, into the house, and proceeded again to make rigorous investigation of the premises. Secure, however, in the inscrutability of my place of concealment, I felt no embarrassment whatever. The officers bade me accompany them in their search. They left no nook or corner unexplored. At length, for the third or fourth time, they descended into the cellar. I quivered not in a muscle. My heart beat calmly as that of one who slumbers in innocence. I walked the cellar from end to end. I folded my arms upon my bosom, and roamed easily to and fro. The police were thoroughly satisfied and prepared to depart. The glee at my heart was too strong to be restrained. I burned to say if but one word, by way of triumph, and to render doubly sure their assurance of my guiltlessness.
"Gentlemen," I said at last, as the party ascended the steps, "I delight to have allayed your suspicions. I wish you all health, and a little more courtesy. By the bye, gentlemen, this - this is a very well constructed house." [In the rabid desire to say something easily, I scarcely knew what I uttered at all.] - "I may say an excellently well constructed house. These walls are you going, gentlemen? - these walls are solidly put together;" and here, through the mere phrenzy of bravado, I rapped heavily, with a cane which I held in my hand, upon that very portion of the brick-work behind which stood the corpse of the wife of my bosom.
But may God shield and deliver me from the fangs of the Arch-Fiend ! No sooner had the reverberation of my blows sunk into silence, than I was answered by a voice from within the tomb! - by a cry, at first muffled and broken, like the sobbing of a child, and then quickly swelling into one long, loud, and continuous scream, utterly anomalous and inhuman - a howl - a wailing shriek, half of horror and half of triumph, such as might have arisen only out of hell, conjointly from the throats of the dammed in their agony and of the demons that exult in the damnation.
Of my own thoughts it is folly to speak. Swooning, I staggered to the opposite wall. For one instant the party upon the stairs remained motionless, through extremity of terror and of awe. In the next, a dozen stout arms were toiling at the wall. It fell bodily. The corpse, already greatly decayed and clotted with gore, stood erect before the eyes of the spectators. Upon its head, with red extended mouth and solitary eye of fire, sat the hideous beast whose craft had seduced me into murder, and whose informing voice had consigned me to the hangman. I had walled the monster up within the tomb!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar